"Mohon maaf Bapak, kira-kira adakah kriteria khusus yang diminta perusahaan terkait psikotes karyawan baru yang akan diterima nanti?", ucapku mengajukan pertanyaan kepada klien yang duduk di ruang tamu kantor Biro Konsultasi Psikologi siang itu. Saat itu sebagai seorang asisten Psikolog yang sering berada di garda depan untuk menerima klien, pertanyaan tadi merupakan salah satu kalimat tanya baku yang harus kami konfirmasi kepada klien.
"Jujur, Mbak. Itu faktor utama yang harus kami ketahui. Pintar banyak, yang mau dan bisa kerja juga nggak sedikit. Tapi yang satu itu sulit kami temui", jawab si Bapak singkat.
Tak sekali atau dua kali aku menemui klien yang mengajukan permintaan yang senada. Padahal saat puluhan purnama yang lalu, hingga kini masih belum banyak alat ukur yang mendeteksi fenomena kejujuran. Perlu pengalaman, keahlian dan ketrampilan khusus untuk melakukan pengamatan terkait integritas ini.
Pengalaman itu yang akhirnya aku bawa dan tularkan kepada anak-anak di kelas. Aku yakinkan bahwa memiliki integritas adalah syarat mutlak berpijak di belahan bumi manapun. Selain itu, kita juga harus senantiasa mampu belajar mengasah kemampuan mewawas diri yaitu melihat (memeriksa dan mengoreksi) diri sendiri secara jujur; introspeksi.
Di bawah ini ada sebuah cerita menarik tentang integritas dan adab belajar yang mudaha-mudahan bisa kita selami bersama untuk diambil hikmahnya :
Pernah ada sebuah cerita tentang seorang Kaisar di Timur Jauh. Ia sudah tua dan tahu bahwa sudah datang waktunya untuk memilih calon penggantinya. Ia tidak memilih dari salah seorang asistennya atau salah satu dari anak-anaknya sendiri, tetapi ia memutuskan untuk melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda.
Ia memanggil semua pemuda di dalam kerajaan bersama-sama dalam satu hari. Dia berkata, "Ini telah datang waktunya bagi saya untuk turun dan memilih kaisar berikutnya. Saya telah memutuskan untuk memilih salah satu dari kalian."
Anak-anak terkejut! Mendengar pengumuman itu. Tetapi, Sang Kaisar tetap melanjutkan titahnya.
"Aku akan memberikan masing-masing dari kalian sebuah biji hari ini. Satu benih. Ini adalah benih yang sangat istimewa. Aku ingin kalian pulang, menanam benih, disiram dan kembali ke sini satu tahun dari hari ini dengan apa yang kalian telah tumbuhkan dari satu biji ini. Aku akan menilai tanaman yang kalian berikan untukku, dan yang terbaik akan dipilih dan ditetapkan menjadi kaisar kerajaan berikutnya!".
Ada seorang anak laki-laki yang bernama Ling berada di sana pada hari itu dan ia, seperti yang lain, menerima benih. Ia pulang ke rumah dan kepada ibunya dengan penuh semangat menceritakan keseluruhan cerita. Dia membantunya mendapatkan panci dan tanah penyemaian, lalu ia menanam benih dan menyiramnya dengan hati-hati. Setiap hari ia menyirami itu dan memeriksa untuk melihat apakah telah tumbuh.
Setelah sekitar tiga minggu, beberapa pemuda lainnya mulai berbicara tentang bibit dan tanaman yang sudah mulai tumbuh. Ling terus pulang dan memeriksa benihnya, tapi tidak pernah tumbuh. Tiga minggu, empat minggu, lima minggu berlalu. Masih belum apa-apa.
Setiap saat orang lain selalu membicarakan tanaman mereka, namun Ling tidak punya tanaman, dan ia merasa gagal. Enam bulan berlalu, masih yang ada hanya pot. Dia hanya tahu bahwa ia telah membunuh benih. Benih orang lain telah menjadi pohon-pohon dan tanamannya tinggi, tapi benihnya tak menjadi apa-apa.
Ling tidak berkata apa-apa kepada teman-temannya, ia hanya terus menunggu benih untuk tumbuh.
Setahun akhirnya berlalu dan semua pemuda dari kerajaan membawa tanaman mereka kehadapan Sang Kaisar untuk diperiksa. Ling mengatakan pada ibunya, bahwa ia tidak akan datang membawa pot kosong. Tapi ibunya terus menyemangi dan mendorongnya untuk pergi dengan membawa pot tersebut. Ia harus jujur tentang apa yang terjadi. Sesungguhnya Ling merasa malu, tapi ia tahu ibunya benar. Maka, sesuai amanat ibunda berangkatlah ia membawa pot yang kosong itu ke istana.
Ketika Ling tiba, ia tertegun sekaligus kagum melihat berbagai jenis tanaman tumbuh milik seluruh pemuda lain. Semua tanaman tampak indah dengan segala bentuk dan ukurannya. Ling menaruh potnya yang kosong di lantai dan banyak pemuda lain menertawakannya.
Bahkan beberapa pemuda menyindir kepadanya dan berkata, "Hei coba lihat ini, bagus." Mereka tampak tertawa puas mencemooh Ling.
Tak lama berselangSang Kaisar tiba, ia mengamati ruangan dan menyapa para pemuda itu. Ling tak kuasa menahan malu dan takutnya, hanya mencoba untuk terus bersembunyi di barisan paling belakang.
"Wah, tanamannya sudah besar, pohon-pohon dan bunga Anda telah tumbuh", kata Sang Kaisar.
"Masih ingat bukan bahwa hari ini, salah satu dari kalian yang berhasil akan ditunjuk menjadi kaisar berikutnya!", Sang Kaisar melanjutkan penjelasannya sambil terus mengedarkan pandangannya berkeliling halaman istana.
Tiba-tiba, Sang Kaisar melihat sosok Ling yang gusar, di belakang ruangan dengan potnya yang kosong. Ia memerintahkan para penjaga untuk membawanya ke depan. Ling resah dan ketakutan.
"Celaka, Kaisar tahu aku gagal! Mungkin dia akan membunuhku!", ucap Ling dalam hati.
Ketika Ling sampai di depan, Kaisar menanyakan namanya. "Nama saya Ling," jawabnya sedikit tergagap karena saking gugupnya. Semua anak-anak tertawa dan mulai riuh mengolok-oloknya. Kaisar meminta semua orang tenang.
Ia menatap Ling, dan tersenyum.
Sesaat kemudian Kaisar mengumumkan sendiri kepada khalayak, "Lihatlah semua, inilah Kaisar baru kalian! Namanya adalah Ling!".
Ling terperangah tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Ling mengerjapkan mata berulang kali. Ling tak bisa menumbuhkan benihnya. Bagaimana ia bisa menjadi kaisar baru?
Kaisar memahami kebingungan Ling dan semua orang yang makin gaduh karena pengumuman Kaisar. Lalu, beliau mengatakan, "Satu tahun yang lalu dari hari ini, aku memberi semua orang di sini sebuah benih. Aku bilang pada kalian untuk mengambil benih, tanaman itu, menyirami, dan membawanya kembali kepadaku hari ini. Tapi aku memberi kalian semua benih yang telah direbus dan tidak akan pernah bisa tumbuh.
Hari ini kalian semua, kecuali Ling, telah membawakan ke hadapanku tanaman dan pohon-pohon dan bunga. Tapi kalian pasti mengetahui, bahwa benih tidak akan bisa tumbuh. Lalu, kalian menggantinya dengan benih lain yang kuberikan padamu. Ling adalah satu-satunya dengan keberanian dan kejujuran untuk membawakan pot dengan benih yang aku berikan. Oleh karena itu, ia adalah orang yang layak untuk menjadi kaisar baru!", Sang Kaisar menutup kalimatnya yang panjang dengan senyuman dan menjabat erat tangan Ling.
Begitu mahalnya harga sebuah kejujuran, hingga ganjaran yang diterima pun pasti akan sepadan. Meski tak mudah, pasti kita semua mampu meletakkan kejujuran itu dengan bijaksana.
Sekolah kehidupan selalu menawarkan banyak nilai dan hikmah baik tersirat maupun tersurat. Kejujuran, hanya satu keping nilai hidup yang ada di dalam kurikulum yang Allah Taalla sediakan untuk manusia agar terus dipelajari.
Pertanyaannya, sudahkah kita memampukan diri untuk selalu tanggap mengambil sari pati dari sekolah kehidupan ini? Mari kita bersama saling introspeksi diri.
Sumber referensi cerita, disadur dari buku :
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi, Idea Press, Yogyakarta. Hal. 159-161. ISBN 978-6028-686-402.
Duh, masih jauh perjalanannya Kak untuk mengambil sari pati dari sekolah kehidupan 😭😭😭 Masih suka aneh-aneh soalnya
BalasHapusJujur, aku suka kata-katanya yang indah terangkai untuk mengambil keputusan bijak tanpa keraguan
BalasHapusKeren tulisan nya perpaduan dongeng dan masa kini
BalasHapusTerima kasih mba 🙏😊
BalasHapusUntuk kalimat yang terakhir tentang jujur setuju kak. Tapi terkadang banyak dengar dari orang dengan kalimat ini "jaman sekarang kalau jujur ajur." Nah bagaimana tuh kak?
BalasHapusaku baca tulisan ini sambil nangis yaampun terharu :')
BalasHapussedikit pertanyaan: kakak ini seoranh praktisi psikologi kah? atau apa?
Benar sekali mencari orang yang jujur itu sulit, bahkan terkadang kita jujur malah tidak dipercaya.
BalasHapusMau konsultasi jadinya:(
BalasHapusKisah ini menginspirasi ya, Mbak Dee ..
BalasHapusSaya sempet baca beberapa kali, berkali-kali pula tak pernah bosan baca cerita ini..