Matahari sudah tepat di atas ubun-ubunku. Panas teriknya terasa menembus kerongkongan. Bibirku mulai kekeringan, sebentar lagi mungkn pecah berdarah-darah. Kulihat emperan toko kelontong yang tutup, begitu menggiurkan untuk dihampiri.
Pikiranku bersuara menolak mentah-mentah, "Kepalang tanggung kalau aku berniat menyelonjorkan kaki di situ. Bisa petang nanti aku baru sampai. Tidak...tidak!"
Namun perutku sudah mulai menjerit tak karuan. Kaki mulai terasa setengah mati rasa. Pegal dan ngilu. Jemariku terasa kebas karena panas. Masih jauh perjalanan yang harus aku tempuh, setidaknya mungkin 6 kilometer lagi.
Bagaimana mungkin aku meneruskan perjalanan ini? Sepasang sepatu karetku yang memang telah menipis bagian bawahnya, kini makin compang-camping. Seolah ia ikut merasa putus asa, tak sanggup menemani kakiku melangkah lagi.
Aku berkali-kali melihat seksama ke jalanan berharap ada seseorang yang aku kenal yang bisa memberikan tumpangan. Sayang sekali, puluhan kali sudah aku mencoba tapi nihil. Tak seperti biasa jalan utama desa ini terasa lebih lengang.
Sial sekali, saat menatap ke sisi kanan jalan mataku justru menangkap para petani yang sedang duduk di dangau. Berkumpul menikmati istirahat sembari ditemani para istri yang mengirimkan lauk pauk untuk makan siang. Komplet! Penderitaanku siang ini terasa sempurna.
Perasaan dongkol menyergapku. Ingin berteriak, aku hanya butuh dua hal saja! Satu tumpangan hingga ke dekat kampungku. Kedua sedikit pengganjal perut yang sudah melilit sedari tadi.
Tak kuat lagi aku memaksakan diri, badanku limbung. Aku berhenti di bawah pohon kersen yang lumayan teduh. Walaupun panas matahari tetap saja enggan beranjak dari kepalaku. Setidaknya hembusan angin dan oksigen yang dibagikan daun-daun kecil pohon ini mampu menurunkan suhu badanku. Alhamdulillah. Kaki akhirnya bisa mengaso.
Kalau saja aku tak menuruti nafsu mataku yang melihat bahan es gempol yang terpampang di gerobak warung pinggir jalan tadi. Meski tak terlalu dahaga tetap saja aku turuti. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku sandarkan tubuhku dan merenungkan semua yang terjadi.
Kalau saja tadi aku bertanya dulu, berapa harga seporsi es gempol, pasti saat ini aku sudah tiba di rumah menikmati makan siang bersama istri juga ibu mertuaku. Sepiring nasi putih yang asapnya masih mengepul dengan aroma wangi pandan, segelas air putih hangat, sambal ulek mentah, dan yang tak pernah boleh absen di meja makan, pepesan peda daun singkong.
Aku hanya bisa mendengus kencang. Lalu merutuk dan memaki kecerobohanku dalam hati.
<Bersambung>
Sumber Foto :
Pinterest/Cookpad.com
Mantap sekali makanannya.
BalasHapusMakanan sunda bgt ini... Yummi
BalasHapusJadi pengen... Hehe..
BalasHapusPerutku ikut bergejolak, Kak 😅 Btw, biasanya peda itu dibuat orak-arik peda sama mamaku. Menu andalan di warung 😍😍😍
BalasHapus