Sejak keluar dari pintu teater lepas menonton film Bumi
Manusia bersama dua adinda kesayanganku, otak rasanya susah sekali move on.
Kata-kata berlompatan tak karuan ingin ditangkap jadi sebuah tulisan. Alhasil
sampai di rumah, kucoba coret sana sini menumpahkan semua riang gelisah
hati. Sebelum film ini tayang memang
sudah kasak-kusuk dengan diajeng Ririt harus diagendakan nonton dua film Hanung Bramantyo, Bumi Manusia dan Perburuan. Sedihnya, entah kenapa meski tayang
dibioskop kesayangan dalam waktu yang bersamaan, film Perburuan harus turun
layar lebih awal. Alhasil keinginan nonton film Bumi Manusia pun makin kencang
takut kalah start lagi, alhamdulillah akhirnya agenda itu tercapai juga malah
nggak cuma berdua tapi Ndan Hessa juga ikut serta. Padahal baru saja mendarat
pagi buta di Semarang. Semua drama pagi
hari yang melingkupi kami untuk sampai di XXI seperti bumbu pelengkap nkmat
yang kami rasakan hingga sore hari itu. Lupa waktu...lupa alarm...maunya
perpanjangan melulu kalau sudah ketemu he..he..he
Aku pikir hari senin siang itu hanya akan ada beberapa
gelintir orang yang bakal menduduki barisan kursi merah itu. Namun, sejak di
lobby aku sengaja memperhatikan muda-mudi yang antri. Ternyata mereka membeli
tiket untuk teater dua, tempat kami nonton film Bumi Manusia. Berasa sudah
merinding..deg..deg..serr.. Tiba saat pintu teater dibuka dan kami bergiliran
masuk, betul prakiraanku cukup banyak yang berjejer di sana. Kusebar
pandanganku mencoba memindai wajah-wajah yang sudah duduk lebih dulu. Bukan
tanpa alasan aku melakukannya, hanya ingin memastikan lebih
banyak angkatanku
atau angkatan muda yang jadi penonton siang itu.
Tiket Nonton Bumi Manusia - Foto : Dok. Pribadi |
Tim Ga-Lon Waktu Itu - Foto : Dok. Pribadi |
Aku memang sudah lama menunggu film ini tayang, sejak tahu
kabar bahwa Mas Hanung sedang mulai proses produksi film Bumi Manusia. Ku ikuti
jejak-jejaknya di laman instagram pribadinya, aku bukan penggemar fanatik tapi
jujur aku suka dan menikmati caranya menerjemahkan kata dalam laku visual. Aku
bilang sih tiap karyanya ada aroma “kemerdekaan”, meski memang kalkulasi pasar
atau industri juga harus dipertimbangkan. Siapa sih yang mau menanggung rugi? Lepas
kemudian ada pro dan kontra dari karya-karyanya, aku anggap itu mah biasa. Susah
kali menyenangkan semua pihak, ya kan? Manusia juga kalau nggak ada kritik dan
saran kapan majunya? Terbukti pada film ini pada akhirnya upaya gila sutradara
muda nusantara ini berhasil menyuguhkan karya yang luar biasa.
Seperti teman kencan nontonku siang itu, aku benar-benar berniat mengosongkan gelasnya. Rekaman satu-satunya tentang Bumi Manusia adalah novel yang tak pernah sempat aku selesaikan. Bagiku Bumi Manusia tak sekedar novel, ada banyak jalan refleksi saat membacanya. Novel Bumi Manusia termasuk dalam ‘Tetralogi Buru’, tiga judul lainnya yaitu Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Aku yang saat itu masih impulsif takut terjebak dalam pemikiran liar khas mahasiswa yang berkobar-kobar. Aku lupa entah aku pinjam buku itu dari mana? Perpustakaan atau dari teman pergerakan waktu itu, yang aku ingat aku berhenti karena tidak menemukan teman diskusi. Hingga aku tak pernah menghabiskan buku itu.
Mengapa Tertralogi Buru? Konon pak Pram menulis “anak-anak rohaninya” ini saat dibuang di kepulauan Maluku, Pulau Buru pada tahun 1969 – 1979. Selama sepuluh tahun itu, beliau terus menulis untuk mencari jejak-jejak jawaban bagaimana terus menjadi Indonesia. Novel Bumi Manusia sudah semacam legenda atau kitab saksi sejarah bangsa ini, dengan semua kontroversinya yang menggiring opini bahwa pak Pramoedya Ananta Toer adalah golongan kiri.
Poster Bumi Manusia - Foto : Falcon Picture |
Inilah review sederhanaku, sudut pandang dan perasaanku. Mungkin tak selengkap, ulasan teman-teman lain yang juga sudah lebih dulu menulis tentang film Bumi Manusia.
Pemutaran film dimulai, sebuah awal yang buat aku
takjub. Kulihat dan kubaca narasi dilayar
besar didepanku. Semua penonton diharapkan berdiri untuk bersama menyanyikan
lagu kebangsaan kita Indonesia Raya. Ragu, takut dibilang sok nasionalis sontak
aku tengok dua rekanku kami saling bertukar pandang. Pemuda didepan kami tampak tak ragu berdiri,
kemudian lantang menyanyi dengan suara bulat juga berat, tangan kanannya tampak
memegang dada sebelah kiri tepat dijantungnya. Aku tak bisa menahan haru, Tuhan
masih begitu banyak cinta untuk Indonesia meski berulang kali cinta kami diuji
dan porak poranda. Semua kusyuk menyanyi, meresapi magisnya tiap lirik lagu
kebanggaan negeri.
Selesai kami bernyanyi, dan duduk kembali. Mulailah kami dibawa ke lorong waktu semasa Minke
hidup. Masa penjajahan, tayangan hitam putih memandu imajinasi kami ke masa itu
dan diiringi suara Minke menjadi pembukanya. Minke adalah nama hinaan yang
berasal dari kata monkey alias monyet. Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, itulah nama
sebenarnya. Seorang anak bupati, priyayi pribumi, bangsawan, karenanya ia bisa
bersekolah di H.B.S seperti anak Belanda lainnya. Itu juga yang membuatnya fasih
berbahasa Belanda dan akrab dengan Robert Suurhof. Minke adalah pemuda yang
memiliki kepintaran diatas rata-rata, cakap, punya wawasan yang luas, dan suka menulis. Modern dimasanya begitulah
kira-kira jika diterjemahkan sederhana. Ia sering mengirim tulisan pemikirannya
pada media.Cita-citanya menajdi manusia merdeka, tidak diperintah dan juga
tidak memerintah.
Kisah percintaan Minke berawal dari ajakan Suurhof untuk datang ke
rumah keluarga Herman Mellema. Orang Belanda yang kaya raya pemilik
berhektar-hektar lahan pertanian dan juga peternakan. Di ‘istana’ keluarga Mellema
ini Minke bertemu dengan perempuan-perempuan yang mengubah cerita hidupnya.
Annelies Mellema dan ibunya, Nyai Ontosoroh yang merupakan perempuan asli Jawa,
gundik Herman Mellema. Perempuan Jawa tulen yang dikenal tak mengenyam pendidikan
formal namun memiliki tekad perlawanan. Sebuah simbolisasi kondisi perlawanan kaum perempuan saat itu
yang menginginkan perubahan dan kesetaraan.
Salah satu mantra yang bisa didapat di Bumi Manusia - Suumber Foto : Falcon |
Sepanjang 181 menit berjalan, penonton bak menemukan harta
karun berupa mantra-mantra kata bijaksana. Nyaris semua kata-kata layak dikutip.
Seperti menemukan ladang emas yang siap ditambang. Kekuatan lain dari film ini
adalah chemistry yang dibangun dan diperankan cukup apik oleh para pemain. Pemeran
Minke (Iqbaal Ramadhan) , Ibundanya (Ayu Laksmi), Annelies Mellema (Mawar Eva
De Jongh), Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti), Jean Marais (Hans de Kraker), Robert
Suurhof (Jerome Kurnia) dan Darsam (Whani Darmawan). Semua terasa sudah totalitas dalam memerankan
karakternya, meski ya tetap ada catatan-catatan kecil yang nggak luput dari
penglihatanku. Seperti akting Iqbaal Ramadhan yang masih terasa “setengah
matang” memasukkan emosi dan ‘ruh’ sebagai Minke dan yang paling menggangguku
sekaligus bertanya-tanya adalah peran
Christian Sugiono sebagai Kommer. Terasa nggak ada gregetnya, padahal
sebenarnya dalam cerita dia lihai berorasi dan cakap menulis.
Beruntung sekali, dan memang andalanku sejak awal datang
menonton film ini adalah ingin dimanja dengan akting Sha Ine Febriyanti. Sesuai
ekspektasi, mataku terbelalak dadaku detaknya bergelegak tiap kali ia bersuara
dan mengekpresikan sebagai wanita yang harus kuat meski terinjak-injak. Melawan
dengan segala kekuatan untuk menyelamatkan harga diri yang tersisa sebagai
perempuan Jawa, manusia. Dua peran lain yang menjadi perhatianku dan
patur diapresiasi dalah Ayu Laksmi yang berperan sebagai ibu Minke dan pemeran Darsam
yaitu Whani Darmawan. Beliau sukses melahap perannya. Suara ibu yang berwibawa,
logat Jawa yang kental namun memancarkan aura yang begitu besar. Begitu juga
dengan Darsam, pria kepercayaan Nyai
Ontosoroh berperawakan sangar dan aksen logat Madura yang kental.
Akting Sha Ine Febriyanti yang luar biasa - Foto : Falcon |
Hanung sebagai sutradara dan Salman Aristo boleh dibilang sukses
menerjemahkan alam kata-kata yang sedemikian indah ditulis oleh pak Pram dan
mengantarkan kepada dunia visual dengan segala macam ekspektasinya. Meski telah
diupayakan menyajikan dalam fragmen-fragmen, tetap saja Hanung tampak kesulitan
menerjemahkannya dalam bahasa gambar. Banyak hal yang tidak dijelaskan di dalam
film ini.
Banyak yang bilang karya-karya pak Pram tak layak
divisualisasikam, bukan karena buruk namun takut mengurangi kebesaran novel
fenomenalnya. Namun, alangkah egois jika kita tak berusaha mendekatkan para
pemuda yang mulai lengah pada kearifan
budaya dan pengetahuan tentang sastra besar Indonesia. Sebagai sutradara, Hanung Bramantyo sangat
memperhatikan segala detail yang dibutuhkan dalam menghidupkan film ini. Memang
ada beberapa yang kurang karena harus mereduksi beberapa hal disana sini namun
tetap harus kita rayakan. Boleh aku bilang ini karya besar dalam sejarah dunia perfilman Indonesia.
Menonton film ini harus dengan pikiran dewasa dan hati terbuka,
tak sebanding memang jika kita membandingkan dengan kepuasan membaca novelnya.
Tataran media imajinasinya saja sudah beda.
Sebagai penutup ada satu kutipan diakhir scene fim ini yang
bikin pecah! Kalimat ini menurutku sukses mengantar penonton menuju klimaks.
“Kita sudah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya”
Lalu lagu Ibu Pertiwi
menggema sebagai latar suara penutup. Rasanya khidmat yang tidak bisa lagi
kuungkap. Hanya rasa haru yang tiba-tiba pecah dan berhamburan menuju sebuah
negeri antah berantah. Sebuah negeri yang sebenarnya begitu dirindukan.
Terakhir aku ingin titipkan, pesan lain yang kurajut dari
menonton film Bumi Manusia ini.
Apapun yang telah kita upayakan ataupun menolak hanya diam dan puas menerima adalah sebuah kesederhanaan yang megah. Terus berusaha merdeka adalah sebuah kemewahan bagi jiwa.
aku juga sudah nonton waktu itu tapi urung membuat ulasan karena satu lain hal. tapi, kalo boleh jujur ini filmnya lebih baik daripada omongan miring netijen. untuk kacamata aku yang belum pernah baca novelnya.
BalasHapusWaktu nonton ini juga berusaha abai sama itu tim nyinyir ..gas aja gitu nonton.. alhamdulillaah gak nyesel meski tetabaca novel tetap lebih asyik sih..hehe
HapusHwaa aku gak sempat nonton film ini, durasinya lama.. untung ada ulasan dari kakak... Hehehe
BalasHapusTiga jam yg nggak sia-sia deh...kalau aku siih hehe
HapusSelalu suka dengan karya Pramudya 💖
BalasHapusTosss💞😀
Hapussuka kutipan yang terakhirnya
BalasHapusbtw yuli jarang nonton flm indonesia hehe
Wah..kalau yang berkualitas kudu ditonton kak... support film kece Indonesia hehe
Hapuscoba baca novelnya juga kak.. terus ikut direview juga...
BalasHapusAhsiyyaaap...Iya masuk dalam agenda nih harus berani selesaikan hehee...eh mulai dari awal lagi klo skrg biar greget
HapusAkhirnya jadi juga review ala mbak Dee.. hehe. Nobar apalagi ya habis ini... tunggu film Habibie 3 yaaa.. :)
BalasHapusKalender mana kalender... kosongkan gelasnya hehe
HapusKeren reviewny :)
BalasHapusTerima kasih kakak...^_^
HapusLihat ada golongan kiri, jadi keinget pembicaraan di salah satu matkul seputar buku kanan dan kiri. Keren bgt Kak reviewnya
BalasHapusSeru yaaa matkulnya bedah buku gitu... btw jurusan apa kak?
HapusBanyak juga ya ternyata yang berbakat review seperti ini, keren
BalasHapusHanya mencurahkan isi hati kak...hehe
Hapus