Kala Jiwa Butuh Tandu
Ketika dersik meninggalkan gurat sembilu
Saat sepi tiba, imajiku bernyanyi
Demi sebuah janji
Sunyi lantang berteriak
Buat telinga pekak
Nyali mereka terserak
Tapi hendak kemana mengelak
Suara hati terus saja berorasi
Mengibarkan panji-panji
Disatu titik kulminasi pekikan terhenti
Merdekalah dan Jangan Mati!
(Semarang, 23 Muharram 1441 H)
Ku letakkan penaku. Tak mampu lagi aku merangkai kata indah,
untuk menyelamatkan kemarahan ini. Rabb-ku ijinkan ruhku berbagi kelelahan. Ragaku terkadang ingin tirah. Kini kekuatanku
hanya diam. Satu-satunya yang kudengar hanya suara sedu sedan. Pedih ini
mungkin tak sama. Sebab bukan kehilangan yang kutangisi, namun penyesalan
karena puncak kemarahan yang serasa tak bertuan ini terus bergentayangan
menjadi beban. Matahari dan senja sudah tak lagi berbalas senyuman, aku
ditinggalkan bersama malam. Kelam.
Jiwaku mengendap-endap dalam diam. Kelindan senyuman. Seruan manja
panggilan saling bersahutan dalam angan. Aku makin tenggelam ke dalam isakan.
Kemarahan merisak jiwaku. Entah disudut mana aku termangu. Udara membeku. Langit
membatu. Merapulah aku bersama semesta yang membisu.
“Bun...bun...”, panggil Eka lirih
disudut ruang sempit itu.
“Iya, Nak. Kenapa? Sebentar lagi ada
jadwal konseling lho. Kita belum buat janji, kan? Atau Bu Dewi lupa tulis ya?”,
sahutku sambil tersenyum.
“Nggak, Bun. Enggak janjian...aku cuma
mau disini aja lihat Ibun ngomong. Anggap aja aku nggak ada hehehe..Nggak
apa-apa ya?”, selorohnya manja.
Aku hanya mengangguk, demi melihat binar
mata bening yang selalu penuh harap dan selalu sigap menungguku. Hanya sebuah
laku sederhana, secuil pengakuan yang ia harapkan.
***
Aku tahu ini bukan salahku. Tak ada
kentalnya darah yang mengikat kami. Tak mengapa jika saja aku memilih tak
peduli. Tapi sisi batinku tak mampu memungkiri jika ada sesak tanya salahkah
jika aku kecewa? Kecewa saat gagal meminjam “tangan-Mu” untuk melebarkan
jangkauan pelukanku. Merengkuh dalam dekapanku. Jiwa-jiwa kosong yang menyusuri
jalan sunyi yang kadang hanya mengenal caci maki hingga hilang nyali percaya
diri.
Tuhan ijinkan aku memilih percaya pada
keajaiban ‘diam’. Meramu logika, perasaan dan iman bersamaan.
Kadang diam adalah seribu bahasa yang
tak pernah kita ketahui ujung maknanya. Sebab kembali ditangan nurani yang akan
memilih frekuensi. Mengantarkan harap ke puncak tertinggi.
Diamku ini terus kuselimuti harap. Aku
masih percaya , “diam”ku tak akan pernah mati. Seperti kisah penantian Nabi
Zakaria hingga dipertemukan dengan Nabi Yahya, Engkau buktikan ajaibnya diam.
Tiga hari beliau tak bisa bertutur kata, hanya ada dzikir dan doa.
Sebab, puncak tertinggi dari rasa peduli
dan kasih sayang seseorang adalah ketika diam sudah menjadi hilir pilihan.
Hanya akan ada ribuan asa dalam doa-doa yang senantiasa diterbangkan sebagai
penyambung menuju pangkuan-Nya.
***
Tulisan di atas terinpirasi dan aku
dedikasikan untuk almarhum muridku yang telah mendahuluiku berpulang. Kejadian
di atas terinsiprasi oleh kisah nyata yang beberapa waktu lalu aku alami. Lalu
apakah tulisanku itu adalah non fiksi, aku bisa bilang tidak murni. Sebab nama
dan beberapa situasi aku tambahkan sesuai imajinasiku sendiri. Merunut
tulisan-tulisan yang telah aku buat memang banyak sekali aku menulis dengan
model begini. Berbasis fakta namun beberapa informasi aku sisipi dengan maksud
dan tujuan sebagai privasi ataupun alasan lainnya seperti kalau kita masak
kasihlah penyedap rasa sedikit, supaya lebih gurih dan renyah.
FIKSI, NON FIKSI ATAU FAKSI?
Jika ditanya lebih nyaman yang mana
apakah menulis fiksi atau non-fiksi? Aku bisa jawab kecenderungannya memang
non-fiksi, seperti artikel dan semacamnya. Tapi jujur aku lebih nyaman dan
menikmati ketika aku menulis dengan genre faksi alias fakta fiksi seperti
contoh cerita yang aku buat di atas. Impian yang terbayangkan memang suatu saat
nanti aku akan membuat sebuah novel inspiratif atau buku psikologi self improvement, parenting atau
semacamnya. Sebuah kisah klasik yang bisa menjadi hiburan sekaligus tuntunan.
Faksi adalah semacam hasil
perkawinan silang antara fiksi dan non fiksi. Artinya tulisan yang dibuat tidak
bisa sepenuhnya disebut fiksi yang berbasis imajinasi, namun tidak pula bisa
murni disebut nonfiksi. Faksi atau fakta fiksi hadir diantaranya. Fakta yang
dikisahkan seperti tulisan bergenre fiksi. Kalau di dunia kepenulisan suami
sebagai jurnalis saya sering mendengar istilah feature. Isi tulisannya semacam
tulisan khas namun “berbumbu” sebagaimana ciri tulisan faksi.
Kalau dulu kita belajar bahasa Indonesia di bab tulis menulis, kita mengenal genre utama atau induk, yaitu argumentasi, deskripsi, eksposisi, narasi dan persuasi. Dikembangkan lagi menjadi lebih luas jadi genre fiksi dan non-fiksi. Tulisan fiksi melahirkan cabangnya yakni puisi dan prosa. Prosa menurunkan lagi cabang seperti cerpen, novel, dan drama.
Tulisan nonfiksi berkembang ranting
akademis, jurnalistik, dan bisnis. Lalu ranting-ranting ini akan melahirkan
lagi cabang-cabang baru yang jumlahnya tak sedikit. Misalnya dalam tulisan non
fiksi ilmiah akademis menurunkan jenis tulisan seperti modul, diktat, handout,
buku pegangan sebagai bahan ajar.
BERPROSES DAN BERSENANG-SENANGLAH
Apapun pilihannya fiksi, non fiksi
ataupun faksi, menulis itu adalah proses yang terus tumbuh. Menulislah dengan
penuh kesenangan, mana yang lebih membuatmu nyaman mendefinisikan dirimu
sebagai seseorang yang bercengkerama dengan aksara.Tidak ada kasta mana yang
akan lebih jaya diantara ketiganya.
Menentukan genre tulisan memang penting, namun lebih penting daripada teknik adalah tetap menulis. Menjaga konsistensi proses menulis itu yang utama, ketimbang menghabiskan waktu galau mau pilih "jurusan" apa. Terus baca, baca dan tulis. Ini akan membuat kita terlatih dan kaya amunisi sebelum kita memang ingin mengambil spesialisasi.
Menentukan genre tulisan memang penting, namun lebih penting daripada teknik adalah tetap menulis. Menjaga konsistensi proses menulis itu yang utama, ketimbang menghabiskan waktu galau mau pilih "jurusan" apa. Terus baca, baca dan tulis. Ini akan membuat kita terlatih dan kaya amunisi sebelum kita memang ingin mengambil spesialisasi.
Apapun pilihannya tetaplah menulis dan terus
berkisah. Tak hanya akan menghilangkan gundah, siapa sangka jika entah diujung
mana ada satu jiwa yang membaca tulisan kita merasa cerah tergugah. Bukankah
ini indah dan menambah muruah?
Selalu suka dengan diksi yang kau pilih, kak. Ayoo senyum dan semangat lagi. Kita masih punya rencana buat buku duet loo... Semoga terwujud ya kakak.. 😘😘😘
BalasHapusTengkyuuu semangatnya...I Wil 💞😍
Hapus
BalasHapusSalam dari saya Ibrahim Dutinov dari Geng Sapporo ya..
kalau boleh, saya mau sampaikan beberapa koreksi untuk postingan Kakak ya.
Insya Allah bukan karena saya merasa sudah hebat dengan tulisan saya, tapi semata-mata sebagai sarana kita sama-sama belajar ya Kak…
1.Disudut ruang sempit atau di sudut ruang sempit?
2.Mau disini aja atau mau di sini aja?
3.“tangan-Mu” atau “Tangan-Mu”?
4.“Kalau di dunia kepenulisan suami sebagai jurnalis saya sering mendengar istilah feature” karena enggak ada koma, saya kok jadi bingung, yang jurnalis itu suami atau “Saya”?
Hehe. Soal konten sudah enggak bisa diragukan lagi Kak, pemilihan kata dan kekayaan perbendaharaan yang Kakak miliki membuat tulisan ini jadi kaya akan informasi. Keren.
Wah...ini nih yang diperlukan...makasih banyak koreksinya lengkap sekali..aku terharuu..makasih kak sudah mampir..jangan kapok ya
HapusAsyiaaaap. hehe. saya membiasakan diri untuk mampir di blog orang yang berkomentar di tulisan saya, hehe. saking banyaknya aktiviatas BW atau link yang harus di kunjungi di ODOP. ehehe
BalasHapusSetuju sama temen² yang lain, diksinya bagus.. penuturannya nyaman dibaca.
BalasHapusAnyway, turut berduka untuk anak didiknya, kak 🙏
Makasih kak,mata masih sembab nih..kejadian baru banget..nulis sambil mewek hehe
HapusAku suka tulisanya, ngenak di hati kak..
BalasHapusKenaaaa deeeh...hehehehe... makasih sisst, PR belajarnya buanyaaaak hehe
Hapus