"Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam."
Kutipan diatas adalah salah satu dari sekian banyak kutipan inspiratif R. A Kartini. Tepatnya 140 tahun yang lalu beliau lahir, kemudian sejarah bangsa ini mencatat tiap tanggal 21 April selalu diperingati sebagai momentum penting kebangkitan para perempuan Indonesia. Lalu, apa sih yang patut kita renungkan dari semangat perubahan beliau untuk para perempuan pribumi?
Dulu hingga kini, perayaan Hari Kartini selalu identik dengan kebaya, jarik, karnaval, ataupun lomba-lomba lainnya yang sayang sekali sering lepas dari esensi perjuangan pada awalnya. Bukan tidak boleh, karena perayaan yang beranekaragam hanyalah simbolisasi penghargaan atas nilai-nilai inspiratif beliau. Seperti kutipan diawal tulisan ini yang menyiratkan harapan bahwa kehidupan akan senantiasa mengalami perubahan. Oleh karena itu kita jangan pernah berhenti berjuang mengupayakan perubahan untuk kebaikan. Tentu bukan hal yang mudah, namun pasti ada celahnya. Jadi jangan mudah menyerah.
Ada lagi kutipan beliau yang jadi favoritku, sederhana namun sarat maknanya. “Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”. Hal ini aku pahami begini, 'Kita dapat menjadi manusia seutuhnya'; sebagai perempuan, kita layak memperoleh hak-haknya. Tanpa harus ada batasan gender ataupun hal lainnya. Perempuan yang pintar, berbudi pekerti baik dan berdikari.
'Tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya', artinya. Ibu Kartini mengisyaratkan untuk mendapatkan hak-haknya tersebut perempuan tidak perlu jadi menyerupai pria. Tetap jadi sosok sesuai kodrat keperempuanan-nya. Figur kasih sayang, kelemahlembutan, sigap bertanggung jawab pada rumah tangganya kelak. Yaitu jadi sosok ibu untuk anak-anaknya, dan juga sebagai belahan jiwa, teman seperjalanan bagi suaminya. Ibu yang ADA DI DUNIA dan juga ADA DI AKHIRAT. Bukan ibu semu apalagi palsu.
Perempuan berhak berekspresi dan mengeksplorasi dirinya baik diranah domestik maupun publik sesuai dengan kemampuan, minat, bakat atau passionnya. Menghasilkan karya, tanpa melepaskan tanggung jawab sebagai sosok ibu di dalam rumah tangganya. Sekali lagi, bagi saya pribadi inilah emansipasi sesungguhnya. Sebab saya yakin, ibu Kartini dulu berjuang bukan untuk melawan kodratnya. Jangan terjebak pada definisi emansipasi yang salah kaprah. Emansipasi bukanlah ambisi kebebasan semata. Emansipasi adalah aksi. Semangat yang mendamba perempuan mampu bersikap sesuai porsi. Beraksi dengan tetap menempatkan posisi fitrahnya sebagai perempuan.
Ditegaskan kembali oleh beliau pada kutipan berikut :
“Alangkah bahagianya laki-laki, bila isterinya bukan hanya menjadi pengurus rumah tangganya dan ibu anak-anaknya saja, melainkan juga jadi sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaannya, menghayatinya bersama suaminya.” (Kartini, 4 Oktober 1902).
Perempuan memiliki kesempatan, kedudukan, dan derajat yang sama dengan lelaki. Perbedaan hanya pada peranannya. Keduanya saling melengkapi dan menyeimbangkan. Tidak ada yang lebih unggul apalagi lebih rendah.
Semuanya predikat tertingginya hanyalah Makhluk 'Hamba' Allah yang sempurna kekurangannya.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Taubah [9]: 71).
Sayangnya seringkali orang salah, ketika perempuan lebih memilih di rumah dianggap kiprahnya tidak berdampak bagi masyarakat. Padahal tentu saja itu tidak benar, jika perempuan bersungguh-sungguh dari dalam rumah. Melakukan hal-hal produktif seperti jadi pendidik utama anak, mengajarinya adab, dasar agama pada anak, akhlak dan budi pekerti yang baik, bersama suaminya bahu membahu mengelola rumah tangga, menjaga keseimbangan, keharmonisan serta keutuhan unit terkecil masyarakat yaitu keluarga. Maka, pasti akan berdampak pada lingkungan yang lebih besar dan luas lagi.
Begitu juga bagi perempuan yang memilih berkiprah diranah publik, maka ia hendaknya selalu berkomitmen bersungguh-sungguh didalam dan diluar rumahnya. Setiap pilihan selalu ada resikonya, bukan?
Perempuan boleh berkarir dan menggapai cita-cita setinggi apapun itu tapi jangan pernah meninggalkan perannya dalam keluarga. Perlu kemauan dan kerja keras untuk menyeimbangkan hal ini. Ketentuan ini juga berlaku bagi para lelaki, meskipun ia menyandang predikat kepala keluarga yang tugas utamanya mencari nafkah.
Ayah sebagai pemimpin keluarga tetap tidak diperkenankan meninggalkan kewajibannya untuk terlibat dan berperan aktif dalam mendidik keluarganya.